Alumni yang kerap disapa Ariana ini merupakan alumni angkatan 1996 yang saat ini berkarier sebagai dosen di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM). Ketika masih menjadi mahasiswa, ia sudah tertarik dan aktif dengan beragam aktivitas di organisasi maupun pergerakan mahasiswa. Salah satu organisasi yang diikuti Ariana adalah Himpunan Mahasiswa Islam atau yang sering disingkat HMI. Luasnya jejaring yang ia miliki saat mahasiswa membuatnya semakin kritis serta menyadari pentingnya pendekatan lintas keilmuan untuk memahami dan menyelesaikan permasalahan sosial. Tidak hanya aktif di dunia organisasi kemahasiswaan serta sebagai aktivis, Ariana juga mengikuti berbagai kompetisi penelitian tingkat lokal dan nasional yang menjadi langkah awal untuk mencoba menggunakan berbagai pendekatan dalam ilmu psikologi untuk memahami permasalahan dan mencari upaya penyelesainnya. Kolaborasi dengan mahasiswa dari latar belakang keilmuan yang berbeda sudah di mulai sejak penelitian saat mahasiswa tersebut, seperti melakukan kajian psikologi arsitektur dengan mahasiswa arsitek untuk mendesain lingkungan industri kecil.
Beragam aktivitas tersebut menjadikan alumni anggota senat mahasiswa ini sudah terbiasa bekerja sama dengan organisasi maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Yogyakarta. Dengan pengalaman yang ia miliki, Ariana kemudian bergabung dengan LSM yang berfokus pada isu-isu sosial di masyarakat. Keterlibatan dalam dunia aktivis isu-isu sosial tersebut akhirnya mendekatkan Ariana pada isu-isu gender yang sangat lekat dengan isu sosial, terutama hak asasi perempuan serta kekerasan berbasis gender. Setelah berkarier di Institut Hak Asasi Perempuan (IHAP) sebagai peneliti dan pengorganisasi di masyaraat, ia semakin yakin untuk membangun di dunia LSM dan menjadikan kajian gender sebagai fokus utamanya. Setelah beberapa waktu mengabdi di bidang tersebut, Ariana melamar beasiswa dan melanjutkan studi di Washington University di St. Louis Amerika Serikat dengan tujuan untuk memperdalam ilmu yang dimiliki serta mendukung tujuannya mewujudkan masyarakat yang adil gender.
Setelah menyelesaikan pendidikan dan mendapatkan gelar Master of Social Work, ia kembali lagi menekuni dunia LSM dan tetap aktif melakukan penelitian tentang gender. Namun, suatu waktu ia berfikir untuk menjadi staf pengajar atau dosen karena kecitaannya dengan dunia penelitian dan pengajaran, seperti keinginannya sejak lama. Dengan menjadi seorang dosen, ia memiliki kesempatan untuk memberikan dampak yang lebih besar bagi masyarakat. Ia merasa bahwa ilmunya akan lebih bermanfaat ketika dia berbagi kepada khalayak yang lebih luas serta bisa membekali generasi muda untuk menjadi agen perubahan masyarakat di masa depan. Kesempatan berbagi tersebut dapat difasilitasi melalu proses pengajaran, penelitian, pelatihan, dan penguatan baik melalui mahasiswa di bangku perguruan tinggi.
Perjalanan karier yang berubah dari seorang aktivis atau praktisi menjadi akademisi memberikan tantangan tersendiri bagi Ariana. Meskipun ada kemiripan antara aktivis dan akademisi, terdapat pula beragam tantangan yang harus ia hadapi. Misalnya saja seperti perubahan budaya di tempat kerja dari yang egaliter saat di LSM berubah menjadi lebih formal, terstruktur dan relasi yang lebih berjenjang di dunia ademik. Tidak hanya itu, sebagai seorang pegawai di lembaga universitas yang memiliki aturan yang lebih baku juga menjadi tantangan tersendiri baginya. Meskipun demikian, ia mengungkapkan bahwa beragam tantangan baru yang muncul dari perubahan kariernya dapat ia atasi dengan cara selalu belajar dengan terbuka dan adaptif dalam mempelajari budaya baru, selalu mendengarkan masukan serta tidak malu untuk bertanya. Setelah menjadi staf pengajar, Ariana tidak begitu saja lepas dari dunia LSM. Ia tetap mampu berkontribusi dengan membantu dalam beragam aktivitas seperti kegiatan penguatan bagi komunitas, hingga memberikan penyuluhan dan training tentang gender di pemerintahan dan masyarakat.
Sebagai seseorang yang sudah malang melintang di dunia aktivis maupun akademisi, Ariana berpesan kepada teman-teman mahasiswa mupun alumni muda terkait berkarier di kedua bidang tersebut. Bekerja dibidang apapun, baik LSM maupun akademisi, sama baiknya. Dunia praktisi tidak selalu jauh dari dunia akademisi, yang mana sebagai praktisi atau aktivis, individu tetap dituntut untuk selalu belajar dan memperbaharui pengetahuan seperti para akademisi. Hal tersebut menuntut siapapun yang terjun ke kedua ranah tersebut untuk terus tumbuh dan berkembang agar mampu bertahan dan berhasil di ranah yang dipilih. Ia juga menekankan bahwa baginya, bekerja bukan hanya perkara minat, ataupun sekedar membangun karir, namun juga tentang kontribusi yang diberikan individu yang bersangkutan bagi masyarakat. (Anjuni)