Dalam dunia keforensikan Indonesia, nama alumni Fakultas Psikologi UGM yang satu ini tampaknya sudah tidak diragukan lagi dedikasinya. Bagaimana tidak, beliau dinobatkan sebagai guru besar psikologi forensik pertama di Indonesia. Beliau tidak lain lain bernama Yusti Probowati. Sebagai salah satu ahli di bidang forensik, aktivitas berupa ‘keluar-masuk lapas’ merupakan salah satu pekerjaan rutin beliau, terutama lapas anak.
Yusti Probowati melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Psikologi UGM sebagai mahasiswa sarjana pada tahun 1983. Awalnya, Yusti merasa ingin mendalami Psikologi karena merasa adanya dorongan untuk menolong orang lain. Menurut Yusti, Psikologi dapat mendorong beliau untuk belajar bagaimana membantu permasalahan banyak orang. Semasa kuliah, beliau merupakan mahasiswa yang aktif baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Yusti aktif sebagai anggota marching band, bertugas sebagai MC di bagian protokoler UGM untuk mengisi acara wisuda atau acara-acara penting UGM, membantu penelitian dosen, menjadi asisten dosen, dan membantu biro dosen. Bagi beliau, melangsungkan studi di Fakultas Psikologi UGM menjadi momen yang menyenangkan karena dekatnya hubungan antar mahasiswa dan hubungan mahasiswa dengan dosen. Yusti masih memiliki hubungan dekat dengan dosen-dosen di Fakultas Psikologi UGM. Bagi Yusti, mereka adalah kakak, ibu, dan bapak beliau.
Yusti lulus S1 pada akhir tahun 1988 dan bekerja di Fakultas Psikologi Universitas Surabaya sejak 1989. Kemudian, beliau melanjutkan studi S2 pada tahun 1994 hingga 1996 dan S3 pada tahun 1996-2001 di Fakultas yang sama. Sepulang dari studi S3, beliau menjabat sebagai Wakil Dekan 1, Kaprodi Magister Profesi, dan Dekan sebanyak dua periode. Yusti akhirnya diangkat sebagai guru besar pada tahun 2007. Beliau juga pernah dua periode menjadi ketua Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia dan saat ini menjabat Ketua III Pengurus Pusat HIMPSI. Kesadaran beliau untuk menekuni dunia psikologi forensik muncul sejak beliau menempuh pendidikan magisternya. Isu forensik saat ini menjadi penting karena peran psikologi sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah hukum, misal, sebagai saksi ahli dalam persidangan, psikologi di Lapas, dan persoalan diversi pada pelaku kriminal anak. Dengan begitu, maka ilmu psikologi sangat dibutuhkan, dan artinya tenaga psikologi juga forensik sangat dibutuhkan.
Sejauh ini, belum ada perguruan tinggi yang membuka pendidikan khusus untuk belajar psikologi forensik. Akan tetapi, melalui jalur pendidikan di Indonesia, Yusti selalu menyarankan masuk magister psikologi profesi dengan peminatan klinis karena inti psikologi forensik adalah klinis. Setelah itu, beliau menyarankan untuk mengambil workshop terkait psikologi forensik yang banyak dibuat dari asosiasi psikologi forensik (APSIFOR). Kedepannya, HIMPSI akan membuat Lembaga Sertifikasi Profesi Psikologi (LSP PSI) yang akan mensertifikasi sehingga keahlian psikologi forensik diakui negara (BNSP).
Yusti saat ini memiliki shelter bagi anak-anak pelaku kriminal di Jombang (sejak 2013 sampai dengan sekarang) sebagai bentuk kepedulian beliau terkait dengan persoalan anak kriminal. Bernama RUMAH HATI, shelter ini merupakan contoh LPKS (Lembaga Pendampingan Kesejahteraan Sementara) sesuai UU 11/2012 tentang peradilan anak. LPKS ini merupakan satu satunya yang menggunakan pendekatan Psikologi di Indonesia. Yusti bermimpi untuk mendirikan rumah hati yang lain di provinsi lain di Indonesia. Rumah hati dapat sebagai percontohan karena anak-anak pelaku kriminal memiliki permasalahan psikologis yang butuh penanganan psikologis seperti di Rumah Hati.
Selain itu, Yusti ingin lebih banyak menulis buku psikologi forensik yang bisa dijadikan buku acuan. Buku yang beliau tulis sebelumnya adalah “ Di Balik Putusan Hakim” (tentang aspek psikologis pengambilan keputusan hakim) dan “The Pathway To Self-Reliance For Youth after release from prison” (ditulis berdasarkan pengalaman nyata berinteraksi dengan anak-anak lapas sejak 2003 hingga 2015 bersama Margret Rueffler, PhD).
Yusti tidak lupa berpesan bahwa beliau akan dengan senang hati apabila diundang untuk berbagi kepada almamater. Selain itu, beliau berpesan kepada mahasiswa agar selalu belajar tidak hanya di kelas tetapi juga di luar kelas dengan membangun relasi dan soft-skill. Mahasiswa yang ingin magang di bidang keforensikan bisa dilakukan di banyak tempat, terutama lapas di kepolisian. (Hanif)