Nita Bonita Prasetyo: Memanusiakan Pengungsi Melalui Psikologi

Lulus dari program Magister Psikologi UGM, Nita Bonita Prasetyo bergabung dengan Jesuit Refugee Service (JSR), sebuah LSM yang bergerak dalam isu pengungsi. Nita membagikan pengalamannya karirnya, serta bagaimana berkuliah di Fakultas Psikologi memberikan perspektif dan kompetensi yang dibutuhkan untuk mendukung kontribusinya dalam isu pengungsi.

Nita Bonita Prasetyo adalah alumni program Magister Psikologi (Mapsi) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada angkatan 2015. Ketika masih mahasiswa S1 Psikologi di Universitas Sanata Dharma, niatan untuk mengambil S2, terlebih Mapsi UGM, tidak terlintas di pikiran Nita. Akan tetapi, dorongan dari teman, keluarga, serta ketertarikannya di bidang psikologi sosial mendorong Nita untuk mencoba peluangnya dengan mendaftar seleksi masuk program tersebut. Meskipun saat itu Nita merasa memiliki wawasan yang terbatas terkait bidang keilmuan dan dosen di Fakultas Psikologi UGM, ia berhasil melalui serangkaian proses seleksi dan menjadi mahasiswa Mapsi.

Berkuliah di Fakultas Psikologi UGM, bagi Nita, membuka matanya akan prospek perkembangan ilmu psikologi yang sangat pesat di masa depan, terutama melalui kajian transdisipliner. Selain mendalami ilmu psikologi sosial, Nita juga sempat aktif sebagai anggota CICP, asisten dosen, dan hampir terlibat dalam proses pembuatan buku bersama salah satu dosen dan mahasiswa lainnya. Tiga orang dosen berperan penting dalam kehidupan kuliah Nita: Fathul Himam, Prof. Dr. Faturochman, dan Prof. Kwartarini Wahyu Yuniarti. Ketiganya mengajarkan Nita arti penting ketekunan, kedisiplinan, pengetahuan yang mengakar, serta kebebasan yang bertanggung jawab.

Setelah lulus dan memeroleh gelar Magister Psikologi di tahun 2018, Nita bergabung dengan Jesuit Refugee Service (JSR), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang kesejahteraan dan advokasi hak pengungsi. Nita sendiri pernah menjadi sukarelawan untuk LSM tersebut sebagai mahasiswa S1, pengalaman yang menumbuhkan kesadarannya akan kesulitan yang dialami pengungsi di Indonesia. Mereka meninggalkan harta dan keluarga yang tersisa di negara asal untuk memperjuangkan hak hidup dengan rasa aman. Namun, tiba di negara tujuan tidak menjamin mereka memeroleh hak tersebut, terlebih di Indonesia yang tidak memiliki hukum yang melindungi mereka. Fakta tersebut, ditambah rasa tanggung jawab Nita untuk mengaplikasikan ilmu psikologi bagi masyarakat yang membutuhkan, mengantarkannya pada kontribusinya di JSR hingga saat ini.

Di JSR, Nita tergabung sebagai Information and Advocacy Officer (IAO) dan bertugas mendata pengungsi di lingkungan sekitar mereka, membangun relasi dengan berbagai pemangku kebijakan, dan mencari informasi isu pengungsi terbaru. Selain itu, Nita juga berperan sebagai caregiver, di mana ia bertugas mengunjungi kediaman pengungsi dan mendampingi mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bekerja dengan pengungsi menuntut Nita untuk menjembatani perbedaan bahasa dan budaya, serta menghadapi berbagai lapisan birokrasi demi memperjuangkan hak mereka. Kurangnya tenaga yang berbanding terbalik dengan tingginya kebutuhan dalam isu pengungsi juga kerap menyebabkan burn out. Di Indonesia sendiri, isu pengungsi bukanlah isu yang ‘seksi’ untuk sebagian besar orang, fakta yang menurut Nita membuat pekerjaannya cukup menantang sekaligus menarik.

Namun, pekerjaannya di JRS juga mengantarkan Nita pada individu dengan cerita hidup yang menarik dan menyentuh hati setiap harinya. Ia mengingat kunjungan pertamanya di JRS, ketika ia bertemu sebuah keluarga asal Afghanistan yang beranggotakan delapan orang. Mereka kehabisan uang sehingga tidak dapat membeli makanan serta obat untuk salah satu anggotanya yang sakit, padahal pengungsi di Indonesia tidak diizinkan mencari nafkah ataupun mendapat asuransi kesehatan. Kondisi hidup mereka begitu memprihatinkan, hingga salah satu dari mereka berkata, “di Afghanistan kami mati sekali, namun di Indonesia kami mati setiap hari.” Di kesempatan lain, Nita mengunjungi seorang ayah yang berperan ganda sebagai ibu bagi anak tunggalnya. Sang anak menderita post-traumatic stress disorder (PTSD) karena menyaksikan ibunya dibunuh Taliban di depan matanya.

Dalam situasi seperti inilah, pengalaman belajarnya di Fakultas Psikologi selama tujuh tahun berperan penting. Selama berkuliah di Fakultas Psikologi, Nita memeroleh pengetahuan tentang berbagai teknik wawancara, serta kemampuan mendengarkan dengan empati. Kemampuan ini sangat bermanfaat untuk menunjang pekerjaannya berinteraksi dengan pengungsi, baik untuk keperluan pendataan maupun sekadar mendengarkan keluh kesah mereka. Selain itu, berkuliah di Fakultas Psikologi juga membentuk perspektifnya menjadi lebih humanis; manusia bukanlah data statistik semata, namun juga merupakan individu yang unik dengan kepribadian dan kebutuhan yang berbeda. Dengan memanasnya perdebatan akan keberadaan pengungsi di banyak negara, kemampuan ini penting untuk “memanusiakan” para pengungsi dan memperjuangkan hak mereka, terlepas dari perbedaan yang ada.

Pekerjaannya berinteraksi dengan pengungsi menyadarkan Nita bahwa dalam menghadapi masa krisis, terkadang yang dibutuhkan hanyalah lingkaran sosial yang suportif serta tujuan hidup yang dipegang kuat.  Dua hal ini, menurut Nita, menjadi hal yang harus dijaga untuk bertahan menghadapi berbagai tantangan hidup serta berkontribusi bagi lingkungan sekitar. Bagi Nita, tujuan untuk memberdayakan pengungsi menjadi api bagi kontribusinya di isu pengungsi secara berkelanjutan, sekalipun dihadapkan dengan berbagai rintangan dan keterbatasan. Untuk menunjang kontribusinya di masa depan, Nita ingin menguasai bahasa resmi PBB, seperti bahasa Prancis atau Spanyol, demi memperluas perspektifnya. Terakhir, Nita juga berharap dapat berbagi pengalamannya lebih jauh dalam isu pengungsi di Fakultas Psikologi jika ada kesempatan suatu saat nanti. (Royyan)